Hak dan Tingkatan-Tingkatan Penghambaan Diri kepada Allah Subhanahu wa Taala
Bersama Pemateri :
Ustadz Abdullah Taslim
Hak dan Tingkatan-Tingkatan Penghambaan Diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Kitab Al-Fawaid. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Abdullah Taslim, M.A. pada Kamis, 5 Rabi’ul Awal 1445 H / 21 September 2023 M.
Ceramah Agama Islam Tentang Hak dan Tingkatan-Tingkatan Penghambaan Diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
ذَاقَ طَعْمَ الْإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولً
“Akan merasakan kenikmatan iman orang yang ridha kepada Allah sebagai Rabbnya (sebagai sembahan satu-satunya, sebagai tempat dia mengembalikan segala urusannya, tempat dia bersandar dalam semua hajat dan kebutuhannya), ridha kepada Islam sebagai agamanya dan ridha kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai RasulNya.” (HR. Muslim)
Maka dia ridha terhadap segala perintah dan larangan Allah, ridha terhadap segala ketentuan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berlakukan dalam takdirnya, karena dia yakin semua yang Allah pilihkan pasti itu yang terbaik dan untuk kemaslahatan bagi hamba-hambaNya. Sementara dia ridha dalam keadaan ketika diuji, maka bersabar. Sedangkan ketika mendapatkan nikmat selalu mensyukuri nikmat tersebut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah keadaan seorang hamba yang menunaikan semua tingkatan-tingkatan penghambaan diri kepada Allah, inilah hamba yang paling sempurna imannya.
Imam Ibnul Qayyim Rahimahullahu Ta’ala berkata bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memberlakukan bagi hambaNya perintah yang Allah perintahkan kepadanya, ketentuan takdir yang Allah takdirkan bagi hamba tersebut, serta nikmat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala limpahkan baginya, maka seorang hamba dalam kehidupannya tidak bisa lepas dari tiga hal ini.
Ketentuan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala ada itu ada dua macam; yaitu ada musibah-musibah yang Allah timpakan baginya, ada juga celaan-celaaan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala takdirkan hamba ini akan melakukannya. Dan hamba ini wajib untuk menunaikan ubudiyah (penghambaan diri kepada Allah) dalam semua tingkatan-tingkatan ini.
Kita tahu bahwa kalau seandainya Allah Subhanahu wa Ta’ala berlakukan untuk seseorang satu keadaan, maka ini menjadikan dia tidak teruji dalam penghambaan dirinya kepada Allah. Misalnya seseorang yang hidupnya diberikan nikmat terus, maka mungkin dia akan bersyukur dan menggunakan nikmat tersebut di jalan-jalan kebaikan. Tapi dia hanya bisa melaksanakan ibadah dalam satu keadaan, yaitu ketika senang saja. Bagaimana ketika dalam keadaan susah, mendapatkan musibah, rezekinya sempit, apakah dia tetap bisa bersangka baik, beribadah kepada Allah, dan tetap semangat dalam berpegang teguh dengan agamaNya? Jawabannya tentu tidak semua orang bisa melaksanakan hal itu.
Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala ingin menyempurnakan penghambaan diri seorang hamba yang dipilihNya, maka Allah akan mengujinya dengan berbagai macam keadaan dan disitu dilihat penghambaan diri hamba ini tidak hanya dalam satu keadaan, tapi dalam semua keadaan dia selalu menampakan sikap yang baik, selalu mengamalkan konsekuensi tauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَىٰ حَرْفٍ ۖ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ ۖ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انقَلَبَ عَلَىٰ وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةَ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ
“Di antara manusia ada orang-orang yang beribadah kepada Allah dengan berdiri di tepi (memilih-milih sesuai dengan keinginan); kalau dia mendapatkan kebaikan, dia pun tenang menjalankan Islam. Tapi kalau dia mendapatkan cobaan, dia pun memalingkan wajahnya dari Islam. Inilah orang yang rugi dunia dan akhirat, dan inilah kerugian yang nyata.” (QS. Al-Hajj[22]: 11)
Jadi, Subhanallah, ada hikmah yang sangat besar kenapa Allah memberikan manusia kondisi seperti ini. Kenapa tidak selalu Allah menjadikan manusia senang saja, nikmat saja, atau kenapa Allah kadang-kadang menguji hambaNya yang beriman dengan dijadikan lalai terjerumus ke dalam perbuatan dosa, meskipun setelah itu Allah segera menolongnya dengan memberikan taufik untuk dia bertobat dan menyesali perbuatan dosanya? Kenapa Allah tidak menjaga hamba ini terus-menerus agar selalu baik-baik saja? Ada hikmah yang besar di balik semua ini.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menyebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لو لم تذنبوا لخشيت عليكم ما هو أكبر من ذلك: العجب العجب
“Seandainya kalian tidak berbuat dosa, maka Aku sungguh khawatir kalian akan ditimpa keburukan atau perbuatan yang lebih buruk dibandingkan dosa itu sendiri: yaitu penyakit ‘ujub (bangga atau kagum terhadap diri sendiri).” (HR. Al-Baihaqi)
Seandainya seseorang ditakdirkan terjaga terus tidak berdosa, maka dia akan menganggap dirinya hebat dan lupa menisbatkan taufik tersebut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jadi, Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki hikmah yang maha sempurna ketika menjadikan hambaNya selalu berbolak-balik dalam keadaan ini.
Hamba yang paling dicintai oleh Allah adalah orang yang paling mengenal hak penghambaan diri kepada Allah dalam semua keadaan-keadaan ini. Kemudian dia menunaikannya dengan sebenar-benar penunaian. Adapun orang yang paling jauh dari Allah adalah orang yang tidak mengetahui hak penghambaan diri ini pada semua tingkatan-tingkatan tersebut.
Bagaimana pembahasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian dan simak penjelasan yang penuh manfaat ini..
Download MP3 Kajian
Podcast: Play in new window | Download
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/53384-hak-dan-tingkatan-tingkatan-penghambaan-diri-kepada-allah-subhanahu-wa-taala/